18:56:10 DBFMRadio.id : Jakarta - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan: StudiK ualitatif”.
Studi ini menunjukkan bahwa anak jalanan sangat rentan terhadap konsumsi rokok yang mengakibatkan adiksi. Sebagian besar pendapatan harian hasil kerja anak jalanan habis untuk membeli rokok.
Akibatnya, anak jalanan perokok tidak hanya mengalami penurunan kondisi kesehatan, tetapi mereka juga terjebak dalam kondisi kemiskinan. Namun, anak jalanan berpikir secara rasional untuk berhenti merokok apabila harga rokok naik 5 kali lipat. Oleh karena itu, kebijakan rokok mahal
merupakan solusi yang optimal untuk mengendalikan konsumsi rokok pada anak jalanan.
Peneliti PKJS UI Risky Kusuma Hartono, Ph.D menyampaikan beberapa poin temuan dalam studi diantaranya, Pendapatan anak jalanan bervariasi pada rentang Rp.25.000 - Rp300.000 per hari.
Namun, sekitar 25% penghasilan per hari anak jalanan habis digunakan untuk membeli rokok. Bahkan, terdapat anak jalanan dengan konsumsi lebih dari 1 bungkus per hari.
" Mayoritas anak jalanan membeli rokok secara batangan/ketengan. Harga satuan rokok pun sangat murah, yaitu Rp.2.000 per batang. Mayoritas informan memiliki persamaan persepsi bahwa harga rokok masih murah di Indonesia." terang Risky Kusuma Hartono, Kamis (15/9/2022).
Risky menegaskan Kenaikan harga rokok belum menjadikan harga rokok menjadi mahal, anak jalanan akan berpikir ulang untuk membeli rokok apabila harga rokok menjadi mahal.
"Apabila harga rokok dinaikkan 5 kali lipat dari harga saat ini, maka harga rokok akan semakin mahal dan semakin berpotensi besar mendorong anak-anak untuk berhenti mengonsumsi rokok" tandas Risky meyakinkan.
Merokok, terus Rizky, merupakan perilaku negatif awal, gerbang utama sebelum menuju ke perilaku negatif lainnya. Mereka merokok dengan join, istilah di kalangan perokok satu batang dihisap beberapa anak secara bergantian, resikonya akan lebih besar. Selain resiko dari rokok itu sendiri, juga hygenitas, yang bisa menularkan penyakit yang diderita diantara perokok join tersebut.
"Ternyata mereka merokok juga sambil ngelem, tentu resikonya akan semakin berganda dan mereka ini merokoknya di tempat-tempat umum. Sementara program edukasi anak jalanan untuk berhenti merokok masih sedikit." Katanya lagi.
Kalaupun ada, terus Risky, tidak terlalu berpengaruh pada anak jalanan, tidak terlalu berpengaruh pada anak jalana untuk berhenti merokok dan mereka masih tetap berperilaku merokok.
Hanya bertahan singkat, mengapa demikian karena masih mudahnya keterjangkauan rokok yang harganya cukup murah bisa dijangkau di manapun dengan mudah sehingga ini yang menjadikan efek dari edukasi bahaya rokok untuk anak jalanan ini kurang kurang signifikan.
Belum Semua Daerah Punya Perda KTR
Sementara dalam tanggapannya Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rini Handayani mengatakan, dari 514 Kabupaten/Kota & 34 Provinsi baru 43,02 % yang punya Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
" Namun demikian, sebenarnya ada beberapa Kabupaten/Kota yang sebenarnya kota-kota ini sudah ada data-datanya di kami, karena melalui evaluasi KLA, ini sudah terlihat dan ini kita tinggal dorong bagaimana memantau melaksanakan implementasi dari Perda tersebut." terang Rini.
Disamping itu, lanjutnya, kawasan tanpa rokok ini didorong di beberapa wilayah dengan pelayanan ramah anak ini sudah ada di 3.576 Puskesmas yang ada di 267 Kabupaten/ Kota kemudian juga di satuan pendidikan ramah anak atau di SMA yang juga didorong salah satu indikator atau variabel Sekolah bebas dari asap rokok.
Webinar melalui Zoom Meet ini juga menampilkan penanggap Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Dr. Atong Soekirman, S.E., M.M, kemudian Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Pande Putu Oka Kusumawardani, S.E., M.M.
Ketua Umum Forum Fungsional Penyuluh Sosial Indonesia, Kementerian Sosial RI - N Susanti Srimulyani, M.Sos dan Ketua Tim Kerja Penyakit Kronis dan Gangguan Imunologi, Kementerian Kesehatan RI- dr. Benget Saragih, M.Epid.(db-aap).