DBFMRadio.id :  Jakarta, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan hasil studi kualitatif kehidupan petani Tembakau di Indonesia di tengah upaya pengendalian tembakau. Peluncuran juga dilakukan hasil studi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bersama American Cancer Society, Australia National University, dan McGill University mengenai analisis ekonomi usaha tani tembakau di Indonesia. Kedua penelitian dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.


Menurut Ketua PKJS-UI Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D, kedua studi menemukan beberapa kemiripan dalam temuan penting mereka salah satunya kehidupan petani tembakau di lapangan yang belum sejahtera.


"Hasil temuan ini dapat digunakan sebagai bukti ilmiah dan rujukan bagi pemangku kebijakan, akademisi, aktivis di bidang pengendalian tembakau dan kemanusiaan, serta masyarakat pada umumnya" Kata Aryana Satya, Rabu (23/9/2020).




Sementara dalam keterangannya Tim Peneliti PKJS-UI Suci Puspita Ratih, MPH mengatakan, seluruh petani swadaya menjual tembakau dalam kondisi tembakau basah, dan petani mitra menjual dalam kondisi kering, dan harganyapun lebih mahal dibanding yang basah.


Menurut informasi dari informan lanjut Puspita Ratih, tataniaga tembakau di Lombok Tengah, tengkulak yang menentukan harga, sekaligus menentukan kualitas tembakau, yang otomatis berpengaruh terhadap harga.


"Di Lombok tengah itu biasanya harga yang menentukan adalah tengkulak, tengkulak juga yang menentukan kualitas tembakau yang tentunya berpengaruh terhadap harga,  di sisi lain petani mitra ditetapkan oleh pemerintah dan perusahaan" terangnya.


Namun demikian, harga tembakau petani mitra juga bergantung pada kualitas yang dihasilkan, sedangkan kualitas sembakau itu sangat bergantung pada cuaca.


Dalam pada itu, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bersama American Cancer Society (ACS), Australia National University (ANU), dan McGill University melakukan penelusuran terhadap rumah tangga petani tembakau dan mantan petani tembakau di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.


Menurut salah satu peneliti UGM-ACS, ANU, McGill University Gumilang Aryo Sahadewo, Ph.D, secara umum, kondisi ekonomi petani akan lebih baik jika membudidayakan tanaman non-tembakau atau melakukan kegiatan ekonomi di luar pertanian.


“Sejumlah petani tembakau mempertimbangkan untuk beralih karena harga yang rendah, sebagian karena merasa penilaian mutu yang tidak adil serta cuaca yang tidak menguntungkan. Setelah mengalami kerugian ketika menanam tembakau, petani yang beralih ke tanaman non-tembakau biasanya memperoleh keuntungan” jelas Gumilang Aryo Sahadewo.


Selama ini, lanjut dia, tembakau paling banyak diolah menjadi rokok, dimana rokok merupakan produk berbahaya. Perilaku merokok diketahui berdampak negatif pada kesehatan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Kenaikan cukai produk tembakau akan menaikkan harga rokok, sehingga rokok menjadi tidak terjangkau bagi anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin.


Selain itu, kenaikan cukai produk tembakau juga meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan cukai dan pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Melalui pengelolaan alokasi DBHCHT yang baik, petani dapat memperoleh bantuan seperti alih tanam, diversifikasi, maupun pengolahan tembakau menjadi produk non-rokok.(db-pkjsui-aap).