12:58:58  DBFMRadio.id: Jakarta - Rokok terbukti berdampak negatif terhadap kesehatan individu, menurunkan kesejahteraan keluarga, dan menjadi beban bagi negara.


Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial -PKJS- UI 2019 menunjukkan bahwa konsumsi rokok dalam rumah tangga mengakibatkan risiko stunting pada anak.


Harga rokok yang masih murah menjadi salah satu penyebab prevalensi perokok di Indonesia masih belum terkendali.


Menurut Peneliti PKJS- UI Risky K. Hartono, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan jumlah perokok dewasa di Indonesia masih sangat tinggi, 62,9%, termasuk prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.


"Efek harga rokok murah ini menjadikan anak-anak maupun kelompok masyarakat pra-sejahtera tidak berhenti merokok walaupun dalam kondisi perekonomian yang sedang sulit." ujar Risky, pada konversi Pers dan desiminasi kajian kebijakan cukai jangka panjang, secara virtual Senin (29/8/2022).



Apalagi, lanjut dia,  saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan/ketengan.


"Kenaikan tarif cukai rokok diharapkan dapat menjadikan harga rokok menjadi mahal, sehingga menjauhkan akses untuk anak dan masyarakat miskin" katanya lagi.


Risky juga menambahkan bahwa Pemerintah telah menyederhanakan strata cukai rokok dari 10 menjadi 8 golongan pada 2021.
Namun, struktur tarif cukai rokok tersebut
masih berjenjang dan rumit.


Turunkan Prevalensi Perokok Anak


Tulus Abadi, dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerangkan,  bahwa pemerintah saat ini memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9.1% menjadi 8.7% di tahun 2024.


“Akan tetapi, program mulia pemerintah tersebut tidak akan tercapai apabila tidak ada upaya konkrit dari pemerintah salah satunya dengan menaikkan cukai rokok."


Tulus menambahkan, cukai merupakan salah satu instrumen perlindungan konsumen dari zat adiktif tembakau. Kebijakan Pemerintah menaikkan cukai rokok akan membuat harga rokok menjadi mahal dan sulit diakses oleh anak-anak maupun masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan visi pemerintah yaitu menciptakan kualitas


Senada dengan Tulus,  pernyataan Tulus Esti Nurjadin, S.H., M.Kn dari Yayasan Jantung Indonesia,  mewakili organisasi massa di bidang kesehatan menambahkan,  bahwa kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko penyakit jantung.


Penyakit jantung dan kardiovaskular menjadi penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah stroke, bahkan menjadi penyakit dengan klaim pembayaran BPJS tertinggi selama tahun
2018 yaitu sebesar 9,3 triliun.


“Prevalensi penderita penyakit jantung juga meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap biaya kesehatan yang semakin naik yang harus ditanggung pemerintah." Ujar dia menjelaskan.


Untuk diketahui, data dari CISDI tahun 2021 juga membuktikan bahwa negara harus menanggung beban ekonomi dengan biaya kesehatan sebesar Rp15,5 Triliun pada tahun 2019 akibat penyakit karena rokok.


Dari studi yang sama, alokasi maksimum Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau/DBH CHT untuk pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional/JKN hanya sebesar Rp7,4 triliun.(db-aap).