DBFMRadio.id : Jakarta - Bio Farma sebagai perusahaan milik negara sudah terlibat dalam pengembangan vaksin sejak tahun 1988, untuk penyakit polio.


Perusahaan plat merah ini juga tergabung dalam Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Pandemi (CEPI) dan kini terlibat dalam program COVAX Facility untuk merespon penanganan pandemi  COVID-19 di seluruh dunia.


Kepala Divisi Surveilans dan Uji Klinik Bio Farma Dr. Novilia Sjafri Bachtiar dalam forum Webinar KPCPEN, mengatakan Peran Bio Farma dalam memproduksi vaksin sudah terbukti lewat vaksin polio yang diekspor ke berbagai negara. Indonesia sendiri sudah dinyatakan bebas polio sejak tahun 2014 oleh WHO.


Dalam keterangan tertulis media-kpcpen@covid19.go.id yang diterma dbfmradio.id Jum’at (13/11/2020), berdasarkan pengalaman itu,  upaya pengembangan vaksin COVID-19 yang dilakukan Bio Farma tidak diragukan lagi. Kini, selain bekerjasama dengan CEPI dan Sinovac, Bio Farma juga berkolaborasi dengan Lembaga Eijkman untuk memproduksi vaksin Merah Putih.   


Targetnya bukan hanya memproduksi vaksinnya saja. Namun juga  membangun kapasitas institusi-institusi di Indonesia untuk sanggup menghasilkan vaksin secara mandiri, tidak tergantung vaksin dari luar negeri.


Optimisme bahwa Bio Farma akan mampu memproduksi vaksin COVID-19 juga disampaikan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan COVID-19 Kemenristek, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, yang mengatakan tidak kalah, namun mulainya agak lambat sedikit. Bukan berarti tidak kompetitif dan harus  optimis.


Vaksin Merah Putih diharapkan dapat menjadi simbol kemandirian bangsa. Namun apa mau dikata. Berdasarkan Survei Populi Center hampir separuh warga Indonesia tidak bersedia menggunakan vaksin Covid-19 yang akan dibagikan.


Data menunjukkan 60 persen masyarakat bersedia memakai vaksin dari pemerintah, sedangkan sebesar 40 persen yang menjawab tidak bersedia. Alasan terbanyak, sekitar 46, 5 persen adalah takut akan risiko kesehatan dari vaksin tersebut.


Kemudian ada 15,2 persen responden tidak percaya vaksin bisa menyembuhkan. Alasan lain adalah tidak bisa memastikan kehalalan vaksin (13,3 persen), belum percaya atau belum teruji (9,3 persen) dan tidak menjawab (15,6 persen).


Lalu pertanyaannya kenapa masyarakat tidak mau, atau tidak percaya dengan vaksin Merah Putih yang digadang gadang akan mendunia?. Ini harus dijadikan masukan dan bahan evaluasi. Sayang sekali bila 40 persen warga tidak percaya vaksin padahal dengan vaksin Covid-19 sangat membantu terlepas dari Pandemi Covid-19.


Alangkah bijak, jika  masyarakat percaya dengan vaksin Covid-19 dan mau untuk memakainya, maka sosialisasi kepada masyarakat makin digiatkan. Rakyat harus tahu manfaat dari vaksin dan apa bahayanya.


Bisa jadi mereka  takut ada efek samping atau  tidak cocok dengan tubuh dan tidak menyembuhkan. Memang, vaksin bukan penyembuh namun penguat tubuh, agar tidak mudah terkontaminasi Virus, termasuk yang 19 ini.


Percuma saja vaksin ditemukan tapi hampir separuh masyarakat tidak mau menggunakannya. Angka 40 persen masyarakat menolak disuntikkan vaksin Covid-19 merupakan bukti vaksin tersebut masih dipertanyakan dan peran pemerintah juga dipertanyakan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai vaksin Covid-19.


Pekerjaan rumah pemerintah sebenarnya dalam meyakinkan masyarakat agar mau menggunakan vaksin Covid-19. Alangkah baiknya dimulai dari sekarang gaungkan penggunaan vaksin Covid-19 kepada masyarakat. Buktikan bahwa vaksin Covid-19 bukan hanya bisnis saja, namun benar-benar bantuan dari pemerintah kepada rakyat.


Semua ini agar kita bisa hidup kembali normal seperti biasa dan bisa tidak hanya sekedar New Normal.(db/kpcpen-aap).