DBFMRadio.id : Blitar, Politik Identitas Pilpres 2019 masih menguat hingga mewarnai Issue Pilkada dan bahkan Pilpres Amerika Serikat.


Politik Identitas muncul tidak hanya dari sosok kandidat, namun justru dari media sosial, tidak bisa dipungkiri, salah satu pemicu yang menjadikan perbedaan dua atau tiga kubu yang sedang berkompetisi politik, adalah konten media sosial.


Adalah Birawa Ananditya Wicaksana, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Pertanian Bogor melihat, konten media sosial pesta demokrasi di Amerika Serikat 2020, jauh lebih agresif dibanding Pemilu tahun 2016.


"Fakta yang muncul misalnya , pernyataan Donald Tramp yang perlu klarifikasi, di discleamer Tweeter dan Facebook. Hal ini bisa buat pelajaran bagi kita, karena belum terlihat langkah medsos, oleh karenanya, kita harus peka mana yang disinformasi mana yang berita bohong" terang Wicaksana pada Takl Show Nasional Is Me, dengan topik Kacamata Politik Demokrasi Dunia Bagi Milenial Indonesia, Senin (9/11/2020).



Wicaksana juga mengatakan, untuk menghilangkan Politik Identitas, seharusnya Mahasiswa mengawal Pilkada, jika dulu melalui media luar ruang dengan berunjukrasa, namun saat ini banyak gerakan inovatif dari kaum milenial khususnya Mahasiswa.


"Ketua BEM di Jogja misalnya, mengawal Pilkada dengan mengajak Bawaslu membangun desa dengan anti Politik Uang, mengedukasi masyarakat bagaimana memilih pemimpin yang baik" cerita Wicaksana.


Selain Birawa Ananditya Wicaksana, Talkshow kerjasama INDONESIAPERSADA. ID dengan Yayasan Bentang Merah Putih dan Heartline Radio Network Jakarta, melalui Radio Mahardika LPPL Kota Blitar dan direllay lebih dari 60 LPPL di Indonesia, termasik DBFMRadio,  juga menghadirkan Koordinator Nasional Jaringan GUSDURIan Alissa Wahid, yang menilai bahwa Media Sosial dikelola secara agoritma, yang artinya tidak mengenal etika, hanya mengenal pengikut dan atau aksesor konten di medsos, konten atau akun kandidat yang diikuti dan ditonton yang paling banyaklah yang kemudian diikuti para pengakses medsos.


"Akibatnya, akun yang memiliki pengikut dan aksesor sedikit, mendapat serangan dari pengikut akun banyak, disinilah, kemudian politik identitas itu muncul" tukas Alissa Wahid.(db-psda-aap).