DBFMRadio.id : Jakarta, Dengan memperhatikan azas manfaat, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sangat hati hati terhadap vaksin Covid 19 agar benar-benar berkhasiat untuk kekebalan dalam tubuh, agar warga tidak terpapar virus Corona.


Adalah Dra. Togi J Hutadjulu Apt MHA, Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Badan POM, ada tiga hal yang tidak bisa ditawar sedikitpun dalam hal vaksin, yaitu Keamanan, Khasiat dan Mutu (KKM).


Untuk itulah sesuai tupoksinya, BPOM mengawasi secara intens Vaksin yang menginduksi atau merangsang sel tubuh manusia. Terutama sel B untuk memproduksi imunoglobulin ini.


"Dimasa pandemi ini, kehadiran vaksin jadi hal yang sangat penting, meski sejatinya kita telah mempunyai beberapa kandidat vaksin COVID-19 yang akan digunakan untuk pemulihan kesehatan masyarakat luas" ujar Togi J. Hutadjulu, Kamis (5/11/2020).


Sebagai lembaga pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan, lanjut dia, Badan POM mengambil langkah-langkah strategis pengawalan penyediaan vaksin COVID-19 dengan tetap mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat.


"Kami (BPOM) sebagai bagian dari Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) memperhatikan arahan Presiden Joko Widodo tentang perlunya kehati-hatian terkait rencana vaksinasi COVID-19 kepada masyarakat luas." kata Togi lagi.


Vaksin COVID-19 harus melalui tahap penelitian yang baik dan benar sebelum dinyatakan siap dan aman diberikan kepada masyarakat.


Standarisasi Izin Penggunaan Vaksin


Badan POM memiliki standar dalam pemberian izin penggunaan vaksin, yaitu harus melalui proses uji klinik atau uji kepada manusia untuk pembuktian keamanan, khasiat dan mutunya.


"Mutu produk juga harus dijamin melalui evaluasi persyaratan mutu dan pemastian pembuatan vaksin sudah sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Setelah proses evaluasi tersebut dilalui dan vaksin dianggap memenuhi syarat dari aspek keamanan, khasiat, dan mutu, barulah Badan POM dapat memberikan perizinan penggunaan" terang Togi J. Hutadjulu.


Uji Klinik Jadi Dasar EUA


Dalam kondisi tertentu, pemberian izin penggunaan vaksin bisa berupa Persetujuan Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization/ EUA). Persetujuan Penggunaan Darurat atau EUA merupakan mekanisme registrasi khusus di saat kondisi darurat seperti pandemi COVID-19 saat ini, dengan tetap mengacu pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).


“Pengambilan keputusan pemberian Persetujuan Penggunaan Darurat ini harus dilakukan dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih tinggi daripada risikonya,” tegas Togi.


Terkait persetujuan penggunaan darurat, ada fleksibilitas tertentu yang diterapkan.


“Jadi, misalnya untuk keamanan, kami bisa menerima hasil uji klinik fase satu dan dua. Sedangkan untuk khasiatnya, selain mendapatkan data kekebalan tubuh yang diproduksi setelah pemberian vaksin, kami bisa menerima data dari hasil laporan interim selama tiga bulan. Tentunya diharapkan uji klinik ini akan berlangsung terus sehingga Badan POM dapat terus melakukan pengawalan,” ungkap Togi.


Memasuki Vase Ke Tiga


Berdasarkan data WHO per 19 Oktober 2020, terdapat 154 kandidat vaksin yang sedang pada tahap uji praklinik dan 44 kandidat vaksin COVID-19 yang sudah memasuki tahap uji klinik.


Uji klinik adalah pengujian khasiat obat baru pada manusia, yang sebelumnya sudah diawali dengan uji praklinik atau pengujian pada binatang. Uji klinik ini dilakukan untuk memastikan efektivitas, keamanan, dan gambaran efek samping yang dimungkinkan timbul pada manusia.


Di antara kandidat vaksin COVID-19 tersebut, yang sudah memasuki tahap uji klinik fase ketiga, antara lain yang dikembangkan oleh Sinopharm, Sinovac Biotech, AstraZeneca dan Universitas Oxford, Novavax, Moderna, Pfizer dan BioNTech, serta Gamaleya Research Institute.


‘’Di Indonesia sedang dilakukan uji klinik vaksin COVID-19 yang dikembangkan Sinovac. Hasil sementara atau interim untuk jangka tiga bulan akan selesai pada akhir tahun dan laporannya akan diberikan kepada Badan POM pada awal Januari 2021. Uji klinik ini juga sudah lebih dulu dilakukan di Brasil,” jelas Togi.


Menurut T.J Hutadjulu, Kesinambungan Pengawasan Dalam proses pendistribusian vaksin COVID-19 nanti, Badan POM secara berkesinambungan juga berperan mengawasi rantai distribusi untuk memastikan mutu vaksin.


“Setelah proses pemberian vaksin dilaksanakan, Badan POM terus melakukan pengawasan untuk aspek keamanan melalui program kegiatan pemantauan efek samping atau yang dikenal dengan farmakovigilans,” ujar Togi.


Supaya proses pengawasan ini bisa maksimal, tentu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari seluruh tenaga kesehatan di lapangan dan industri farmasi.


Dikatakan Togi, tenaga kesehatan diharapkan dapat memantau dan melaporkan kemungkinan Kejadian Ikutan Pasca-imunisasi (KIPI) yang dialami masyarakat setelah menerima vaksin.


Apabila terdapat peningkatan frekuensi efek samping, Badan POM berhak meninjau kembali aspek khasiat dan keamanan vaksin tersebut. Hasil pemantauan ini dikaji bersama para ahli di bidangnya.


“Jika ditemukan bahwa risiko menjadi lebih besar daripada manfaatnya, hasil keputusan Badan POM berdasarkan pemantauan tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan komunikasi risiko. Kalau memang ditemukan adanya risiko keamanan yang tinggi, akan dilakukan pencabutan persetujuan penggunaan darurat,” kata Togi.


Pemberian izin edar vaksin dipastikan pemerintah melalui serangkaian riset dan uji yang komprehensif. Dengan memprioritaskan asas kehati-hatian, vaksin benar-benar diupayakan agar memberikan khasiat sebesar-besarnya untuk masyarakat luas. (db-kcppen/kominfo-aap).