DBDMRadio.id : Jakarta, Persentase perokok usia 10–18 tahun terus mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1 % di tahun 2018. Angka ini jauh dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2019 dengan target prevalensi merokok usia muda sebesar 5,2%.


Untuk mengatasi kebiasaan merokok di kalangan anak-anak, kebijakan perlu melihat bukti empiris peran berbagai faktor di antaranya adalah pengaruh teman sebaya (peer effect) dan tingkat harga (price effect).


Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai Efek Harga Rokok dan Efek Teman Sebaya terhadap Tingkat Prevalensi Merokok pada Anak di Indonesia.


Menurut Tim Peneliti Teguh Dartanto Studi ini menunjukkan bahwa teman sebaya (peer effect) dan tingkat harga (price effect) berhubungan dan secara statistik signifikan dengan peluang seorang anak menjadi perokok.


"Pengaruh menurut umur, peer effect lebih dominan dibandingkan price effect untuk usia dini dan sebaliknya, price effect lebih dominan daripada peer effect untuk usia remaja" terang Teguh Dartanto, Kamis (27/8/2020).



Dalam studi ini, terus Teguh Dartanto.peneliti menggunakan data Susenas 2015 yang mencakup sampel sebanyak 244.737 sampel anak usia 7–18 dan data IFLS 4 dan 5 yang mencakup sampel sebanyak 7.122 sampel remaja usia 15–18 tahun.



"Berdasarkan hasil analisis, prevalensi merokok pada anak dan remaja di Indonesia (7-18 tahun) berdasarkan Susenas 2015 adalah sebesar 2,7%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada usia 16-18 tahun, namun tidak sedikit dari anak usia 7–12 tahun juga telah merokok." Lanjutnya lagi.



Sementara Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P, yang turut hadir dalam Webinar ini menjelaskan bahwa Kemenko PMK sangat berkepentingan terhadap upaya untuk menekan, mengurangi bahkan menghapuskan kebiasaan penggunaan rokok di kalangan masyarakat.


Prof. Muhajir menambahkan salah satu jebakan yang hampir terjadi di seluruh bagian siklus pembangunan manusia di Indonesia adalah rokok. Dikhawatirkan rokok menyerang upaya membangun Sumber Daya Manusia.


"Rokok dikhawatirkan menyerang upaya kita untuk membangun sumber daya manusia Indonesia sejak prenatal dan memicu berbagai macam penyakit keluarga termasuk penyakit ekonomi" jelas Menko PMK.


"Maka distribusi dana PKH yang diberikan lewat ibu-ibu agar tidak dibelikan rokok, karena rokok sangat mencandu. Ini akan sangat berbahaya bagi masa depan". sambung dia.


Apa yang didapat oleh negara atau pemerintah melalui cukai rokok tidak sebanding dengan ongkos yang harus dikeluarkan oleh pemerintah terhadap risiko-risiko, terutama risiko kesehatan akibat rokok.


“Harus kita tekankan dengan baik terutama bagaimana kita bisa menyelamatkan remaja-remaja kita, anak-anak kita jangan sampai menjadi perokok dini."


Semakin dini mereka kecanduan rokok, lanjut Menko maka tingkat kerusakan kesehatan maupun mentalnya akan semakin parah ketika dia memasuki usia produktif.


"Prinsipnya kita harus memiliki komitmen yang kuat baik kalangan masyarakat sipil, termasuk didalamnya kelompok peneliti, kelompok peduli terhadap bahaya rokok maupun pemerintah untuk sama-sama menjadikan agenda strategis, agenda yang penting dalam upaya kita untuk menekan, menahan, laju perokok atau pecandu rokok di Indonesia,” tambahnya.


Pada kesempatan yang sama, Ketua PKJS-UI, Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D menambahkan bahwa jika harga rokok tetap murah, prevalensi perokok muda akan terus meningkat, dan menyebabkan kesehatan yang signifikan serta beban ekonomi.


“Untuk itu, pemerintah harus segera mengambil langkah dengan menaikkan cukai secara seragam minimal 25% untuk tahun 2021 demi mengurangi prevalensi perokok muda dan dewasa yang mengkhawatirkan di Indonesia”, ujarnya.


Layer cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini masih kompleks dan banyak golongannya. Hal ini menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli harga rokok yang lebih rendah jika harga rokok naik.


"Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan cukai rokok saja belum cukup optimal menurunkan prevalensi merokok. Diperlukan simplifikasi layer cukai hasil tembakau untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam mengurangi konsumsi rokok. Selain itu simplifikasi pun dapat meningkatkan pendapatan negara”, tutup Ir. Aryana Satrya M.M.(db-rell-aap).