14:08:23 DBFMRadio.id : Jakarta - Sehubungan dengan pengumuman kenaikan cukai rokok 12 % yang diumumkan pada Senin, (13/12/202) yang sangat penting dalam keberlanjutan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Selasa (14/12/2021) menggelar jumpa pers virtual via zoom metting menghadirkan narasumber Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua PKJS-UI Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dan Head of Strategic Unit Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhinna Melissa,
Dari catatan Head of Strategic Unit CISDI - Yurdhinna Melissa, Anak dari keluarga dengan perokok akuf 5,54 lebih rentan stunting dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tdak merokok (PKJS UI, 2018).
"Di lain sisi, kecenderungan naiknya konsumsi rokok di masa pandemi (Komnas PT, 2020) menambah beban ekonomi dan kesehatan, dan secara makro, negara harus menanggung beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9 27,7 T selama setahun akibat penyakit karena rokok." katanya.
Hal ini menunjukan bahwa penting bagi negara untuk mengendalikan konsumsi rokok agar mencegah dampak eksternalitas yang semakin parah. Kebijakan fiskal, salah satunya dengan cukai masih terbukti ampuh untuk dapat menurunkan prevalensi perokok di berbagai negara di dunia. Kenaikan cukai menjadi penting dilakukan sebagai bentuk kontrol atas produk berbahaya seperti rokok.
Selain itu, adanya kenaikan batas minimum Harga Jual Eceran (HJE) juga dapat memungkinkan memahalkan harga rokok di pasaran.
"Pengenaan cukai terhadap Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL) juga perlu mendapatkan perhatian karena konsumsi dan penggunaannya di kaum muda juga sangat meningkat. " Ujarnya lagi.
Anomali Teknik Marketing Penjualan Rokok
Nyali pemerintah untuk menaikkan cukai rokok 12% pada 2022, merupakan mandat regulasi, karena UU 39/2007 tentang cukai memang memberi ruang kepada pemerintah untuk menaikkan hingga 52%.
Menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, apa yang dilakukan pemerintah itu hanya mandat regulasi yang harus dilakukan.
" Ini memang keniscayaan regulasi yang harus dieksekusi oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, untuk menaikkan cukai rokok." ujar Tulus Abadi pada virtual Konferensi Pers: Merespon Putusan Menteri Keuangan tentang Kenaikan Cukai Rokok 2022, Selasa (14/12/2021).
Namun demikian, lanjut dia, dari sisi formulasi cukai, masih belum siap karena lapisan atau layernya masih terlalu complicated, masih ada 8 layer dan nyali itu akan lebih signifikan kalau pemerintah bisa mensimplikasi menjadi 4 layer, baru efektif untuk perlindungan konsumen.
Menanggapi pernyataan harga rokok masih jauh dibawah cukai, menurut Tulus, ini adalah anomali yang terjadi teknik marketing penjualan rokok di Indonesia.
Disatu sisi ada kenaikan cukai, namun harga jualnya tidak signifikan.
"Harga rokok boleh didiskon, tidak sesuai dengan bandrolnya, mana ada zat adiktif kok didiskon. Anomali inilah yang mengakibatkan cukai rokok tidak efektif untuk melindungi konsumen." terangnya lagi.
Tulus juga menjelaskan, harus dibedakan ada barang yang kena pajak yaitu barang normal, seperti air mineral kemasan, juga ada barang yang kena cukai, barang syah, namun abnormal yaitu zat di adiktif.
" Barang yang legal tapi abnormal, kenapa dikenai cukai, sebagai upaya pengendalian dan cukai dibayar oleh konsumen, bukan oleh industri rokok" tutup dia.(db-aap).