“Dopok!”. Perempuan paro baya mengumpat. Ia duduk paling belakang dalam pertemuan itu. Tidak ada yang mendengar umpatan perempuan berkebaya jingga agak lusuh itu. Umpatan yang terekspresi dari merah wajah dan gemetaran kepalan tangan kurusnya. Hanya ia yang tahu; begitu juga ketika satu peristiwa membentang jelas di benaknya. Satu cerita yang menghayutkan pikiran, berpadu serentetan caci maki yang terus mengalir dari hatinya.


Namun, tidak banyak yang bisa dilakukan selain membisu ketika janji-janji manis serombongan orang berpenampilan perlente yang duduk di depan membius peserta dalam pertemuan di rumah salah seorang pemuka kampung tua itu. Pertemuan itu persis lima tahun silam. Saat bulan-bulan menjelang pemilihan orang-orang yang akan duduk mewakili rakyat. Orang-orang yang bakal menjadi anggota Dewan yang terhormat.